Di Indonesia, setiap tanggal 22 Desember dirayakan Hari Ibu dengan tema utama untuk menghormati peran Ibu terhadap keluarga dan rumahtangganya, baik kepada suaminya, anak-anaknya, maupun lingkungan sosialnya. Indonesia adalah salah satu dari 77 negara yang juga turut merayakan hari Ibu atau Mother’s Day. Masing-masing negara memiliki tema yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang sejarah. Beberapa negara merayakannya pada hari Minggu, yaitu minggu kedua di bulan Mei. Beberapa negara lainnya merayakan hari Ibu pada setiap bulan Maret. Dari semua negara yang menjadikan hari Ibu sebagai salah satu dari hari nasionalnya, keseluruhannya memiliki latar belakang yang sama, yaitu tidak terlepas dari sejarah perjuangan kaum perempuan. Tulisan ini akan mengulas mengenai latar belakang terbentuknya gagasan untuk memasukkan Hari Ibu sebagai salah satu hari nasional.
Hari Ibu di Indonesia
Pada masa pergerakan nasional, kaum wanita di Indonesia sudah memberikan kontribusi di bidang politik dengan munculnya organisasi-organisasi perempuan. Diawali dengan pertemuan para pejuang wanita untuk mengadakan Kongres Perempuan Indoensia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Gedung Mandalabhakti Wanitatama (di Jalan Solo) adalah saksi bisu lahirnya ide Hari Ibu di Indonesia. Kongres tersebut dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil kongres mendeklarasikan pembentukan Kongres Perempuan yang sekarang ini dikenal Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Sekedar catatan, organisasi-organisasi perempuan yang mengikuti Kongres Perempuan I sudah terbentuk sejak 1912. Diilhami oleh keikutsertaan perempuan dalam era perjuangan fisik, organisasi-organisasi perempuan ini hendak mempertahankan semangat perlawanan untuk mencapai kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Tidak seperti kebanyakan organsiasi-organisasi perempuan dari Eropa yang membawa misi kesetaraan gender, mereka lebih berorientasi untuk memikirkan sesuatu yang amat penting bagi kemajuan bangsa.
Pada Kongres Perempuan III tahun 1938 yang diselenggarakan di Bandung dikeluarkan suatu deklarasi yang menetapkan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Penetapan hari Ibu ini sesungguhnya adalah bagian dari upaya politik kaum perempuan pada waktu itu untuk mempertahankan misi perbaikan nasib kaum perempuan sebagai bagian dari agenda pergerakan nasional. Sebelumnya, setelah melakukan pembubaran Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) mulai dikeluarkan isu mengenai keterwakilan perempuan. Sayangnya, upaya untuk memperjuangkan Maria Ulfa menjadi anggota Volksraad (semacam anggota legislatif) tidak berhasil. Penetapan Hari Ibu tanggal 22 Desember melalui Kongres Perempuan III adalah bagian dari upaya secara politik untuk mempertahankan eksistensi perjuangan kaum perempuan.
Setelah periode kemerdekaan, upaya kaum perempuan untuk menunjukkan eksistensinya terus menguat. Peringatan Hari Ibu Ke-25 tahun 1953 dilaksanakan secara besar-besaran di hampir semua kota dari Meulaboh hingga Ternate. Tentunya peringatan ini tidak terlepas dari keberhasilan organisasi perempuan ketika itu memasukkan nama seperti Maria Ulfa Menteri Sosial (Kabinet Syahrir II) dan S. K. Trimurti menjadi Menteri Perburuhan (Kabinet Amir Sjarifuddin, 1947-1948). Akhirnya, Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No 316 Tahun 1959 menetapkan Hari Ibu tanggal 22 Desember sebagai Hari Nasional. Hari Ibu (Mother’s Day) di Indonesia adalah untuk mengenang perjuangan kaum perempuan yang turut serta dalam memperbaiki nasib bangsa terutama nasib kaum perempuan. Sekalipun pengaruh pergerakan kaum wanita di Eropa sudah masuk ketika itu, akan tetapi perjuangan kaum perempuan di Indonesia tidak didasarkan pada pemikiran kesetaraan gender. Mereka hanya memperjuangkan agar nasib kaum perempuan lebih diperhatikan.
Sejauh ini saya belum mendapatkan literatur yang menerangkan mengapa organisasi perempuan pada Kongres Perempuan III di Bandung menyebutkannya Hari Ibu. Apakah karena kaum perempuan yang terlibat dalam gerakan nasional 1912 hingga Kongres Perempuan III (1938) adalah kaum ibu? Seperti kita ketahui, setelah Kongres Perempuan I di Yogyakarta telah terbentuk organisasi perempuan yang disebut PPII (1930) menggantikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia atau PPPI (1929). Bisa jadi pula, ide untuk menyebutkan Hari Ibu terinspirasi dari budaya Eropa yang dianut oleh gerakan perempuan di Eropa yang terlebih dulu menyebutkan Hari Ibu (Mother’s Day), sekalipun bukan dalam tema yang sama.
Sejarah Hari Ibu di Eropah
Mother’s Day di Eropa sesungguhnya adalah kebiasaan masyarakat Yunani Kuno berupa ritual sebagai persembahan untuk menghormati seorang ibu dalam legenda Yunani Kuno, yaitu Dewi Rhea atau lebih dikenal Mother of Rhea. Nama Dewi Rhea sesungguhnya adalah penyebutan yang berasal dari Pirigi (Phrigia), yaitu kerajaan yang terletak di bagian Turki. Dalam mitologi Yunani Kuno, Dewi Rhea memiliki nama Cybele atau dikenal juga Magna Mater Deorum Idaea yang berarti ibu para dewa (The Great Idaean Mother of Gods). Oleh karena itu, masyarakat Yunani Kuno yang kebanyakan melakukan ritual pada tangga 15-18 Maret adalah kaum perempuan dari golongan ibu.
Jika Yunani memiliki Cybele sebagai ibu para dewa, maka Romawi Kuno memiliki ritual yang tidak berbeda yang disebut Festival Matronalia untuk menghormati Dewi Juno, puteri dari Dewa Saturnus, istri dari Dewa Yupiter, dan ibu dari Juventas, Mars, dan Vulcan. Dewi Juno dikenal sebagai dewi yang melindungi keuangan di seluruh negeri yang kuilnya terletak di Arx. Dewi Juno juga melindungi kota-kota di manapun yang terdapat kuil untuk menyembahnya. Di setiap tahun di awal bulan Maret, para perempuan yang umumnya terdiri dari kaum ibu melakukan ritual berupa Festival Matronalia. Beberapa di antaranya diselenggarakan pada tanggal 7 Juli hingga September. Seperti halnya pada kepercayaan masyarakat Yunani Kuno, Dewi Juno dianggap sebagai simbol penghormatan kepada kaum ibu.
Mother’s Day di Amerika Serikat
Seperti kita ketahui jika budaya Eropa banyak dipengaruhi pula oleh budaya Yunani Kuno. Tidak hanya ilmu pengetahuan ataupun filsafat, akan tetapi juga kebiasaan dan simbol-simbol kehidupan. Budaya inilah yang selanjutnya menginspirasikan gerakan kaum perempuan Eropa untuk mencetuskan Mother’s Day.
Istilah ‘Second Sunday in May’ sebagai Mother’s Day pertama kali diperkenalkan oleh Ann Maria Reeves Jarvis atau Anna Jarvis, salah seorang seorang aktivis perempuan di Amerika Serikat. Bermula dari kehidupan pribadi dengan merasakan betapa besarnya jasa dan pengorbanan seorang ibu yang selama ini tidak pernah mendapatkan penghargaan. Ditambah lagi dengan diskriminasi gender di negara itu yang sangat menyudutkan kaum perempuan. Setelah kematian ibundanya pada tahun 1905, Anna memulai kampanyenya menekan pemerintah untuk memberikan kesempatan penghormatan bagi kaum ibu di negara itu. Pada tahun 1914, kongres Amerika akhinrya berhasil mendesak Presiden Woodrow Wilson untuk mendeklarasikan secara resmi tanggal 12 Mei sebagai Mother’s Day atau yang dikenal dengan istilah ‘Second Sunday in May’. Di negeri itu, Mother’s Day diwarnai dengan pemberian bunga Carnation kepada para ibu.
Negara-Negara Yang Merayakan ‘Second Sunday in May’
Tradisi ‘Second Sunday in May’ selanjutnya diikuti oleh pergerakan kaum perempuan di negara-negara lain. Adapun negara-negara selain Amerika Serikat dan Kanada yang mengikuti tradisi ‘Second Sunday in May’ adalah:
Amerika Latin:
Anguila, Aruba, Bahamas, Barbados, Belize, Bermuda, Bonaire, Brazil, Chili, Kolumbia, Cuba, Curacao, Ekuador, Honduras, Jamaika, Peru, Puerto Rico, Saint Lusia, Saint Vincent & Grenada, Saint Martin, Suriname, Uruguay, dan Venezuela.
Asia dan Pasifik:
Australia, Bangladesh, Brunei Darussalam, RRC, Taiwan, Hongkong, India, Jepang, Malaysia, Myanmar, Selandia Baru, Pakistan, Papua Nugini, Philipina, dan Singapura.
Eropa:
Belanda, Belgia, Kroasia, Cyprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Jerman, Yunani, Islandia (Iceland), Italia, Latvia, Malta, Slovakia, Swis, Turki, dan Ukraina.
Afrika:
Afrika Selatan, Ghana, Trinidad & Tobago, dan Zimbabwe.
Mother’s Day diselenggarakan antara tanggal 9, 10, dan 11 Mei setiap tahun. Paling banyak dilaksanakan pada tanggal 9 Mei. Adapun secara lengkap negara-negara yang merayakan Mother’s Day dari Asia, Afrika, Amerika Latin, Amerika, dan Eropa dapat dilihat di Wikipedia (klik di sini).
Kesamaan Nasib Secara Historis
Pada prinsipnya, Hari Ibu atau Mother’s Day di setiap negara sekalipun memiliki latar belakang yang berbeda, akan tetapi memiliki kesamaan visi. Istilah pandangan tentang mitologi Yunani Kuno maupun Romawi Kuno hanyalah simbol dari suatu pergerakan kaum perempuan setelah abad pertengahan. Mungkin ada beberapa pandangan yang menyebutkan jika pandangan pergerakan perempuan ketika itu dilandasi oleh pemikiran-pemikiran kaum pagan. Sesungguhnya tidak demikian pengertiannya. Setiap pergerakan, perjuangan, ataupun perlawanan pasti membutuhkan simbol yang dapat menjadi penyemangat atau penanda (ciri khas). Kebangkita Eropa pada abad pertengahan menjadi titik tolak dimulainya pemikiran untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan di Eropa yang ketika itu sedang mengalami penindasan luar biasa. Ini pula yang terjadi di negara-negara lain seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di Indonesia, perbedaannya justru terletak pada unsur kesetaraan gender yang sama sekali tidak dimasukkan ke dalam agenda perjuangan kaum perempuan. Ini pula yang melandasi pemikiran R.A Kartini dan tokoh-tokoh wanita nasional lainnya yang selanjutnya diwujudkan ke dalam perjuangan kaum ibu.
Di Jepang misalnya, pergerakan kaum perempuan yang kemudian menjadi pencetus Mother’s Day dilatarbelakangi oleh penghormatan kepada Kaisar Wanita yang dikenal Kaisar Kojun (Ibunda dari Kaisar Akihito). Penghormatan kepada Kaisar Kojun kemudian oleh Kaisar Akihito dijadikan sebagai bagian dari upacara ritual nasional di negeri Jepang.
Di Cina daratan (RRC), Mother’s Day dilatarbelakangi pemikiran filsuf Mencius yang hidup di era 372-289 sebelum masehi. Cerita tentang seorang ibu diilhami oleh kisah ibunda Mencius yang memindahkan rumah sebanyak 3 kali yang tujuannya untuk mendapatkan tempat yang nyaman bagi anak-anak untuk tumbuh.
Iran merayakan Mother’s Day untuk menghormati jasa mendiang Hazrat Fatemah Zahra yang dipercaya sebagai keturunan putri Nabi Muhammad. Perayaan yang semula hanya tradisi kemudian mulai dijadikan sebagai bagian dari hari besar nasional di Iran dan sekaligus sebagai tradisi nasional.
Inggris dan Irlandia memiliki kesamaan latar belakang historis tentang Mother’s Day. Sebelumnya, tradisi rakyat Inggris dan Irlandia ini dikenal dengan nama Mothering Sunday yang dilakukan oleh kelompok umat kristiani. Pada setiap meinggu ketiga sebelum hari Paskah, para wanita berkumpul di Mother Church sambil membawa anak-anaknya untuk mengenak keibuan dari Bunda Maria bersama puteranya Yesus Kristus. Kebiasaan inilah yang selanjutnya menjadi latar belakang dijadikannya tanggal 1 Maret sebagai Mother’s Day di Inggris dan Irlandia.
Hari Ibu di Indonesia
Pada masa pergerakan nasional, kaum wanita di Indonesia sudah memberikan kontribusi di bidang politik dengan munculnya organisasi-organisasi perempuan. Diawali dengan pertemuan para pejuang wanita untuk mengadakan Kongres Perempuan Indoensia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Gedung Mandalabhakti Wanitatama (di Jalan Solo) adalah saksi bisu lahirnya ide Hari Ibu di Indonesia. Kongres tersebut dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil kongres mendeklarasikan pembentukan Kongres Perempuan yang sekarang ini dikenal Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Sekedar catatan, organisasi-organisasi perempuan yang mengikuti Kongres Perempuan I sudah terbentuk sejak 1912. Diilhami oleh keikutsertaan perempuan dalam era perjuangan fisik, organisasi-organisasi perempuan ini hendak mempertahankan semangat perlawanan untuk mencapai kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Tidak seperti kebanyakan organsiasi-organisasi perempuan dari Eropa yang membawa misi kesetaraan gender, mereka lebih berorientasi untuk memikirkan sesuatu yang amat penting bagi kemajuan bangsa.
Pada Kongres Perempuan III tahun 1938 yang diselenggarakan di Bandung dikeluarkan suatu deklarasi yang menetapkan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Penetapan hari Ibu ini sesungguhnya adalah bagian dari upaya politik kaum perempuan pada waktu itu untuk mempertahankan misi perbaikan nasib kaum perempuan sebagai bagian dari agenda pergerakan nasional. Sebelumnya, setelah melakukan pembubaran Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) mulai dikeluarkan isu mengenai keterwakilan perempuan. Sayangnya, upaya untuk memperjuangkan Maria Ulfa menjadi anggota Volksraad (semacam anggota legislatif) tidak berhasil. Penetapan Hari Ibu tanggal 22 Desember melalui Kongres Perempuan III adalah bagian dari upaya secara politik untuk mempertahankan eksistensi perjuangan kaum perempuan.
Setelah periode kemerdekaan, upaya kaum perempuan untuk menunjukkan eksistensinya terus menguat. Peringatan Hari Ibu Ke-25 tahun 1953 dilaksanakan secara besar-besaran di hampir semua kota dari Meulaboh hingga Ternate. Tentunya peringatan ini tidak terlepas dari keberhasilan organisasi perempuan ketika itu memasukkan nama seperti Maria Ulfa Menteri Sosial (Kabinet Syahrir II) dan S. K. Trimurti menjadi Menteri Perburuhan (Kabinet Amir Sjarifuddin, 1947-1948). Akhirnya, Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No 316 Tahun 1959 menetapkan Hari Ibu tanggal 22 Desember sebagai Hari Nasional. Hari Ibu (Mother’s Day) di Indonesia adalah untuk mengenang perjuangan kaum perempuan yang turut serta dalam memperbaiki nasib bangsa terutama nasib kaum perempuan. Sekalipun pengaruh pergerakan kaum wanita di Eropa sudah masuk ketika itu, akan tetapi perjuangan kaum perempuan di Indonesia tidak didasarkan pada pemikiran kesetaraan gender. Mereka hanya memperjuangkan agar nasib kaum perempuan lebih diperhatikan.
Sejauh ini saya belum mendapatkan literatur yang menerangkan mengapa organisasi perempuan pada Kongres Perempuan III di Bandung menyebutkannya Hari Ibu. Apakah karena kaum perempuan yang terlibat dalam gerakan nasional 1912 hingga Kongres Perempuan III (1938) adalah kaum ibu? Seperti kita ketahui, setelah Kongres Perempuan I di Yogyakarta telah terbentuk organisasi perempuan yang disebut PPII (1930) menggantikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia atau PPPI (1929). Bisa jadi pula, ide untuk menyebutkan Hari Ibu terinspirasi dari budaya Eropa yang dianut oleh gerakan perempuan di Eropa yang terlebih dulu menyebutkan Hari Ibu (Mother’s Day), sekalipun bukan dalam tema yang sama.
Sejarah Hari Ibu di Eropah
Mother’s Day di Eropa sesungguhnya adalah kebiasaan masyarakat Yunani Kuno berupa ritual sebagai persembahan untuk menghormati seorang ibu dalam legenda Yunani Kuno, yaitu Dewi Rhea atau lebih dikenal Mother of Rhea. Nama Dewi Rhea sesungguhnya adalah penyebutan yang berasal dari Pirigi (Phrigia), yaitu kerajaan yang terletak di bagian Turki. Dalam mitologi Yunani Kuno, Dewi Rhea memiliki nama Cybele atau dikenal juga Magna Mater Deorum Idaea yang berarti ibu para dewa (The Great Idaean Mother of Gods). Oleh karena itu, masyarakat Yunani Kuno yang kebanyakan melakukan ritual pada tangga 15-18 Maret adalah kaum perempuan dari golongan ibu.
Jika Yunani memiliki Cybele sebagai ibu para dewa, maka Romawi Kuno memiliki ritual yang tidak berbeda yang disebut Festival Matronalia untuk menghormati Dewi Juno, puteri dari Dewa Saturnus, istri dari Dewa Yupiter, dan ibu dari Juventas, Mars, dan Vulcan. Dewi Juno dikenal sebagai dewi yang melindungi keuangan di seluruh negeri yang kuilnya terletak di Arx. Dewi Juno juga melindungi kota-kota di manapun yang terdapat kuil untuk menyembahnya. Di setiap tahun di awal bulan Maret, para perempuan yang umumnya terdiri dari kaum ibu melakukan ritual berupa Festival Matronalia. Beberapa di antaranya diselenggarakan pada tanggal 7 Juli hingga September. Seperti halnya pada kepercayaan masyarakat Yunani Kuno, Dewi Juno dianggap sebagai simbol penghormatan kepada kaum ibu.
Mother’s Day di Amerika Serikat
Seperti kita ketahui jika budaya Eropa banyak dipengaruhi pula oleh budaya Yunani Kuno. Tidak hanya ilmu pengetahuan ataupun filsafat, akan tetapi juga kebiasaan dan simbol-simbol kehidupan. Budaya inilah yang selanjutnya menginspirasikan gerakan kaum perempuan Eropa untuk mencetuskan Mother’s Day.
Istilah ‘Second Sunday in May’ sebagai Mother’s Day pertama kali diperkenalkan oleh Ann Maria Reeves Jarvis atau Anna Jarvis, salah seorang seorang aktivis perempuan di Amerika Serikat. Bermula dari kehidupan pribadi dengan merasakan betapa besarnya jasa dan pengorbanan seorang ibu yang selama ini tidak pernah mendapatkan penghargaan. Ditambah lagi dengan diskriminasi gender di negara itu yang sangat menyudutkan kaum perempuan. Setelah kematian ibundanya pada tahun 1905, Anna memulai kampanyenya menekan pemerintah untuk memberikan kesempatan penghormatan bagi kaum ibu di negara itu. Pada tahun 1914, kongres Amerika akhinrya berhasil mendesak Presiden Woodrow Wilson untuk mendeklarasikan secara resmi tanggal 12 Mei sebagai Mother’s Day atau yang dikenal dengan istilah ‘Second Sunday in May’. Di negeri itu, Mother’s Day diwarnai dengan pemberian bunga Carnation kepada para ibu.
Negara-Negara Yang Merayakan ‘Second Sunday in May’
Tradisi ‘Second Sunday in May’ selanjutnya diikuti oleh pergerakan kaum perempuan di negara-negara lain. Adapun negara-negara selain Amerika Serikat dan Kanada yang mengikuti tradisi ‘Second Sunday in May’ adalah:
Amerika Latin:
Anguila, Aruba, Bahamas, Barbados, Belize, Bermuda, Bonaire, Brazil, Chili, Kolumbia, Cuba, Curacao, Ekuador, Honduras, Jamaika, Peru, Puerto Rico, Saint Lusia, Saint Vincent & Grenada, Saint Martin, Suriname, Uruguay, dan Venezuela.
Asia dan Pasifik:
Australia, Bangladesh, Brunei Darussalam, RRC, Taiwan, Hongkong, India, Jepang, Malaysia, Myanmar, Selandia Baru, Pakistan, Papua Nugini, Philipina, dan Singapura.
Eropa:
Belanda, Belgia, Kroasia, Cyprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Jerman, Yunani, Islandia (Iceland), Italia, Latvia, Malta, Slovakia, Swis, Turki, dan Ukraina.
Afrika:
Afrika Selatan, Ghana, Trinidad & Tobago, dan Zimbabwe.
Mother’s Day diselenggarakan antara tanggal 9, 10, dan 11 Mei setiap tahun. Paling banyak dilaksanakan pada tanggal 9 Mei. Adapun secara lengkap negara-negara yang merayakan Mother’s Day dari Asia, Afrika, Amerika Latin, Amerika, dan Eropa dapat dilihat di Wikipedia (klik di sini).
Kesamaan Nasib Secara Historis
Pada prinsipnya, Hari Ibu atau Mother’s Day di setiap negara sekalipun memiliki latar belakang yang berbeda, akan tetapi memiliki kesamaan visi. Istilah pandangan tentang mitologi Yunani Kuno maupun Romawi Kuno hanyalah simbol dari suatu pergerakan kaum perempuan setelah abad pertengahan. Mungkin ada beberapa pandangan yang menyebutkan jika pandangan pergerakan perempuan ketika itu dilandasi oleh pemikiran-pemikiran kaum pagan. Sesungguhnya tidak demikian pengertiannya. Setiap pergerakan, perjuangan, ataupun perlawanan pasti membutuhkan simbol yang dapat menjadi penyemangat atau penanda (ciri khas). Kebangkita Eropa pada abad pertengahan menjadi titik tolak dimulainya pemikiran untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan di Eropa yang ketika itu sedang mengalami penindasan luar biasa. Ini pula yang terjadi di negara-negara lain seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di Indonesia, perbedaannya justru terletak pada unsur kesetaraan gender yang sama sekali tidak dimasukkan ke dalam agenda perjuangan kaum perempuan. Ini pula yang melandasi pemikiran R.A Kartini dan tokoh-tokoh wanita nasional lainnya yang selanjutnya diwujudkan ke dalam perjuangan kaum ibu.
Di Jepang misalnya, pergerakan kaum perempuan yang kemudian menjadi pencetus Mother’s Day dilatarbelakangi oleh penghormatan kepada Kaisar Wanita yang dikenal Kaisar Kojun (Ibunda dari Kaisar Akihito). Penghormatan kepada Kaisar Kojun kemudian oleh Kaisar Akihito dijadikan sebagai bagian dari upacara ritual nasional di negeri Jepang.
Di Cina daratan (RRC), Mother’s Day dilatarbelakangi pemikiran filsuf Mencius yang hidup di era 372-289 sebelum masehi. Cerita tentang seorang ibu diilhami oleh kisah ibunda Mencius yang memindahkan rumah sebanyak 3 kali yang tujuannya untuk mendapatkan tempat yang nyaman bagi anak-anak untuk tumbuh.
Iran merayakan Mother’s Day untuk menghormati jasa mendiang Hazrat Fatemah Zahra yang dipercaya sebagai keturunan putri Nabi Muhammad. Perayaan yang semula hanya tradisi kemudian mulai dijadikan sebagai bagian dari hari besar nasional di Iran dan sekaligus sebagai tradisi nasional.
Inggris dan Irlandia memiliki kesamaan latar belakang historis tentang Mother’s Day. Sebelumnya, tradisi rakyat Inggris dan Irlandia ini dikenal dengan nama Mothering Sunday yang dilakukan oleh kelompok umat kristiani. Pada setiap meinggu ketiga sebelum hari Paskah, para wanita berkumpul di Mother Church sambil membawa anak-anaknya untuk mengenak keibuan dari Bunda Maria bersama puteranya Yesus Kristus. Kebiasaan inilah yang selanjutnya menjadi latar belakang dijadikannya tanggal 1 Maret sebagai Mother’s Day di Inggris dan Irlandia.